Senin, 26 April 2010

Tugas Mata Kuliah Pengolahan Citra

Tugas Mata Kuliah Pengolahan Citra
Image Processing menggunakan MATLAB 7.6



Teknik Sobel Methods
>> A = imread('d:\tugas grafik\30.jpg');
>> gray = rgb2gray(A);
>> BW1 = edge(gray,'sobel');
>> BW2 = edge(gray,'canny');
>> BW3 = edge(gray,'prewitt');
>> BW4 = edge(gray,'roberts');

>> imshow(BW1),title('Sobel Methods');




Teknik Canny Methods
>> figure, imshow(BW2), title('Canny Methods');







Teknik Prewitt Methods

>> figure, imshow(BW3), title('Prewitt Methods');




Teknik Roberts Methods

>> figure, imshow(BW4), title('Roberts Methods');






Original Picture

>> i = imread('d:\tugas grafik\bay.jpg');
>> imshow(i), title('Original Picture');








Blurred Picture

>> PSF = fspecial('motion',55,90);
>> Blurred = imfilter(i,PSF,'circ','conv');
>> figure; imshow(Blurred); title('Blurred Picture');










Blurred an Noisy Image with Gaussian Methods

>> PSF = fspecial('gaussian', 20, 20);
>> Blurred = imfilter(i, PSF, 'symmetric', 'conv');
>> V = .002;
>> BlurredNoisy = imnoise(Blurred, 'gaussian', 0,V);
>> figure;imshow(BlurredNoisy); title('Blurred and Noisy Image');




Senin, 28 Desember 2009

Kenakalan Remaja, Peran Orang Tua, Guru dan Lingkungan

Sebenarnya menjaga sikap dan tindak tanduk positif itu tidak hanya tanggung jawab para guru dan keluarganya, tetapi semua orang, Guru yang selalu mengusahakan keluarganya menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan dengan sebuah contoh, adalah cerminan komitmen dan pendalaman makna dari seorang guru. Sang guru harus berusaha agar keluarganya baik dan tidak korupsi agar ia dapat mengajari kepada murid-muridnya yang merupakan remaja generasi penerus bangsa memiliki moral dan ahlak baik dan tidak korupsi, berusaha tidak berbohong agar murid-muridnya sebagai remaja yang baik tidak menjadi pendusta, tidak terjaebak dalam kenakalan remaja.

Guru adalah profesi yang mulia dan tidak mudah dilaksanakan serta memiliki posisi yang sangat luhur di masyarakat. Semua orang pasti akan membenarkan pernyataan ini jika mengerti sejauh mana peran dan tanggung jawab seorang guru . Sejak saya baru berusia 6 tahun hingga dewasa, orang tua saya yang merupakan seorang guru, selalu memberikan instruksi yang mengingatkan kami para anak-anaknya adalah anak seorang guru yang harus selalu menjaga tingkah laku agar selalu baik dan jangan sampai melakukan sebuah kesalahan . Seberat itukah, seharus itukah kami bertindak Lantas apa hubungan profesi orang tua dengan dengan anak-anaknya, apakah hanya anak seorang guru yang harus demikian ?.

Peran guru tidak hanya sebatas tugas yang harus dilaksanakan di depan kelas saja, tetapi seluruh hidupnya memang harus di dedikasikan untuk pendidikan. Tidak hanya menyampaikan teori-teori akademis saja tetapi suri tauladan yang digambarkan dengan perilaku seorang guru dalam kehidupan sehari-hari.

Terkesannya seorang Guru adalah sosok orang sempurna yang di tuntut tidak melakukan kesalahan sedikitpun, sedikit saja sang guru salah dalam bertutur kata itu akan tertanam sangat mendalam dalam sanubari para remaja. Jika sang guru mempunyai kebiasaan buruk dan itu di ketahui oleh sang murid, tidak ayal jika itu akan dijadikan referensi bagi para remaja yang lain tentang pembenaran kesalahan yang sedang ia lakukan, dan ini dapat menjadi satu penyebab, alasan mengapa terjadi kenakalan remaja.

Sepertinya filosofi sang guru ini layak untuk di jadikan filosofi hidup, karena hampir setiap orang akan menjadi seorang ayah dan ibu yang notabenenya merupakan guru yang terdekat bagi anak-anak penerus bangsa ini. Akan sulit bagi seorang ayah untuk melarang anak remajanya untuk tidak merokok jika seorang ayahnya adalah perokok. Akan sulit bagi seorang ibu untuk mengajari anak-anak remaja untuk selalu jujur, jika dirumah sang ibu selalu berdusta kepada ayah dan lingkungannya, atau sebaliknya. jadi bagaimana mungkin orang tua melarang remaja untuk tidak nakal sementara mereka sendiri nakal?

Suatu siang saya agak miris melihat seorang remaja SMP sedang asik mengisap sebatang rokok bersama adik kelasnya yang masih di SD, itu terlihat dari seragam yang dikenakan dan usianya memang terbilang masih remaja. Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini. Apakah sianak remaja tersebut, sepertinya tidak adil kalau kita hanya menyalahkan si anak remaja itu saja, anak itu terlahir bagaikan selembar kertas yang masih putih, mau jadi seperti apa kelak di hari tuanya tergantung dengan tinta dan menulis apa pada selembar kertas putih itu . Orang pertama yang patut disalahkan mungkin adalah guru, baik guru yang ada di rumah ( orang tua ), di sekolah ( guru), atau pun lingkungannya hingga secara tanpa disadari mencetak para remaja tersebut untuk melakukan perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam kenakalan remaja.

Peran orang tua yang bertanggung jawab terhadap keselamatan para remaja tentunya tidak membiarkan anaknya terlena dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menenggelamkan si anak remaja kedalam kenakalan remaja, kontrol yang baik dengan selalu memberikan pendidikan moral dan agama yang baik diharapkan akan dapat membimbing si anak remaja ke jalan yang benar, bagaimana orang tua dapat mendidik anaknya menjadi remaja yang sholeh sedangkan orang tuanya jarang menjalankan sesuatu yang mencerminkan kesholehan, ke masjid misalnya. Jadi jangan heran apabila terjadi kenakalan remaja, karena sang remaja mencontoh pola kenakalan para orang tua

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru. Menjadi guru diharapkan tidak hanya didasari oleh gaji guru yang akan dinaikkan, bukan merupakan pilihan terakhir setelah tidak dapat berprofesi di bidang yang lain, tidak juga karena peluang. Selayaknya cita-cita untuk menjadi guru didasari oleh sebuah idealisme yang luhur, untuk menciptakan para remaja sebagai generasi penerus yang berkualitas.

Sebaiknya Guru tidak hanya dipandang sebagai profesi saja, tetapi adalah bagian hidup dan idialisme seorang guru memang harus dijunjung setinggi-tingginya. Idealisme itu seharusnya tidak tergantikan oleh apapun termasuk uang. Namun guru adalah manusia, sekuat-kuatnya manusia bertahan dia tetaplah manusia, jika terpaan cobaan itu terlalu kuat manusia juga dapat melakukan kesalahan.

Akhir akhir ini ada berita di media masa yang sangat meruntuhkan citra sang guru adalah berita tentang pencabulan Oknum guru terhadap anak didiknya. Kalau pepatah mengatakan guru kencing bediri murid kencing berlari itu benar, berarti satu orang guru melakukan itu berapa orang murid yang lebih parah dari itu, hingga akhirnya menciptakan pola kenakalan remaja yang sangat tidak ingin kita harapkan.

Gejala-gejala ini telah menunjukan kebenarannya. Kita ambil saja kasus siswa remaja mesum yang dilakukan oleh para remaja belia seperti misalnya kasus-kasus di remaja mesum di taman sari Pangkalpinang ibukota provinsi Bangka Belitung, lokasi remaja pacaran di bukit dealova pangkalpinang, dan remaja Ayam kampus yang mulai marak di tambah lagi foto-foto syur remaja SMP jebus, ini menunjukkan bahwa pepatah itu menujukkan kebenarannya.

Kerja team yang terdiri dari orang tua (sebagai guru dirumah), Guru di sekolah, dan Lingkungan (sebagai Guru saat anak-anak, para remaja bermain dan belajar) harus di bentuk. diawali dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru di sekolah, pertemuan yang intensif antara keduanya akan saling memberikan informasi yang sangat mendukung bagi pendidikan para remaja. Peran Lingkungan pun harus lebih peduli, dengan menganggap para remaja yang ada di lingkungannya adalah tanggung jawab bersama, tentunya lingkungan pun akan dapat memberikan informasi yang benar kepada orang tua tentang tindak tanduk si remaja tersebut dan kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangannya agar tidak terjebak dalam kenakalan remaja.

terlihat betapa peran orang tua sangat memegang peranan penting dalam membentuk pola perilaku para remaja, setelah semua informasi tentang pertumbuhan anaknya di dapat, orang tuapun harus pandai mengelola informasi itu dengan benar.

Terlepas dari baik buruknya seorang guru nampaknya filosofi seorang guru dapat dijadikan pegangan bagi kita semua terutama bagi para orang tua untuk menangkal kenakalan remaja, mari kita bersama-sama untuk menjadi guru bagi anak-anak dan para remaja kita para remaja belia, dengan selalu memberi contoh kebenaran dan memberi dorongan untuk berbuat kebenaran. Sang guru bagi para remaja adalah Orang tua, guru sekolah dan lingkungan tempat ia di besarkan. Seandainya sang guru dapat memberi teladan yang baik mudah-mudahan generasi remaja kita akan ada di jalan yang benar dan selamat dari budaya "kenakalan remaja" yang merusak kehidupan dan masa depan para remaja, semoga.

Kenakalan Remaja Atau Kenakalan Orang Tua

Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja makin meluas. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Para pakar psikolog selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus. Sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semkain lancar, cepat dan mudah. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.

Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.

Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada." (sumber Whandi.net/1 jan 1970).

Kenakalan remaja, merupakan salah si anak? atau orang tua? Karena ternyata banyak orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang seharusnya. Mereka hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi si anak tanpa memikirkan kebutuhan batinnya. Orang tua juga sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi si anak. Sebenarnya kita melupakan sesuatu ketika berbicara masalah kenakalan remaja, yaitu hukum kausalitas. Sebab, dari kenakalan seorang remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan yang jarang memerhatikan faktor terdekat dari lingkungan remaja tersebut dalam hal ini orangtua. Kita selalu menilai bahwa banyak kasus kenakalan remaja terjadi karena lingkungan pergaulan yang kurang baik, seperti pengaruh teman yang tidak benar, pengaruh media massa, sampai pada lemahnya iman seseorang.

Ketika kita berbicara mengenai iman, kita mempersoalkan nilai dan biasanya melupakan sesuatu, yaitu pengaruh orangtua. Didikan orangtua yang salah bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada diri seorang remaja. Apalagi jika kasus negatif menyerang orangtua si remaja, seperti perselingkuhan, perceraian, dan pembagian harta gono-gini. Mungkin kita perlu mengambil istilah baru, kenakalan orangtua.

Orang tua, sering lupa bahwa prilakunya berakibat pada anak-anaknya. Karena kehidupan ini tidak lepas dari contek-menyontek prilaku yang pernah ada. Bisa juga karena ada pembiaran terhadap perilaku yang mengarah pada kesalahan, sehingga yang salah menjadi kebiasaan. Para orang tua jangan berharap anaknya menjadi baik, jika orang tuanya sendiri belum menjadi baik. Sebenarnya nurani generasai ingin menghimbau “Jangan ajari kami selingkuh, jangan ajari kami ngomong jorok, tidak jujur, malas belajar, malas beribadah, terlalu mencintai harta belebihan dan lupa kepada Sang Pencipta, yaitu Allah.”

Tulisan ini mencoba mengajak merenung bagi kita para orangtua, bahwa kenakalan tak selalu identik dengan remaja, tapi justru banyak kenakalan yang dilakukan oleh para orangtua (di rumah, di masyarakat, dan di pemerintahan) yang akhirnya juga menjadi inspirasi remaja untuk berbuat nakal. Menyedihkan memang! (sumber O. Solihin)

Kenakalan orangtua dalam ikatan keluarga

Contohnya seperti :

Suka berkata-kata kasar, suka menghujat atau memaki, mengajari anak untuk melakukan perlawanan ketika anak diganggu orang lain, suka menyakiti anak secara fisik dan psikis, merokok seenaknya di depan anak-anak, dl (masalah akhlak).

Mengabaikan pelaksanaan syariat, sholat misalnya, banyak juga kita orang tua yang mengabaikan sholat, melalaikan sholat, bahkan tidak pernah sholat, membiarkan anak-anak gadisnya tidak menutup aurat, membiarkan anak-anaknya bergaul bebas (pacaran), membiarkan anak-anaknya minum-minuman keras, dll.


Kenakalan orangtua di masyarakat

Contohnya seperti :

Menciptakan suasana yang tidak produktif (bapak-bapaknya), misalnya waktu pagi, siang dan malam suka nongkrong sambil main gaple, atau main catur, walau tidak pakai uang, ini sama saja artinya tidak menjaga kehormatan diri, apalagi kehormatan keluarganya (istri dan anak-anaknya)? Sedangkan yang ibu-ibunya suka ngumpul sambil berghibah atau memfitnah, menghambur-hamburkan uang dengan gaya hidup yang konsumtif yaitu belanja di mall atau supermarket, bergaya hidup mewah.
Menyediakan sarana kemaksiatan, ini misalnya, jadi bandar narkoba, jadi bandar judi, menyediakan tempat hiburan (diskotik).

Pendidik yang lalai, ini bisa kita lihat di sekolah atau di kampus, padahal lembaga pendidikan adalah tempat yang aman untuk menimba ilmu pengetahuan atau belajar, tapi kenyataannya banyak pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik terhadap anak didiknya, misalnya melakukan perbuatan asusila, menganiaya anak didiknya secara fisik, menjual ilmu demi keuntungan materi atau sering melakukan dosa pendidikan.
Menjadi pemilik media massa (baik cetak maupun elektronik: koran, majalah, tabloid, radio, televisi, dan juga internet) yang ‘hobi’ menampilkan bacaan, gambar dan tontonan yang merusak akhlak (pornografi, kekerasan, dan seks bebas) yang berlindung atas nama bisnis.

Kenakalan orangtua di pemerintahan
Contohnya seperti :
Suka korupsi, mengambil kebijakan menaikkan biaya pendidikan, menaikkan harga BBM, mahalnya biaya kesehatan, suka membuat janji-janji tapi lalu melupakannya, suka melakukan pungli atau suap menyuap.
Suka melanggengkan kemaksiatan, memberi izin untuk usaha prostitusi/lokalisasi, perjudian, tempat diskotik, pabrik minuman keras, dengan dalih besar pemasukannya.
Menutup mata terhadap problem yang diakibatkan usaha prostitusi, perjudian, narkoba, peredaran minuman keras, diskotik, dll.
Menerapkan aturan kehidupan yang tidak benar dan tidak baik, yakni Kapitalisme-Sekularisme (termasuk juga Sosialisme-Komunisme).

Marilah kita uraikan satu persatu petuah atau nasihat-nasihat yang kita berikan sebagai orangtua kepada anak-anak kita padahal kita melakukan dan tidak melakukannya :


Kita melarang anak kita berbicara kasar, padahal kita sering berkata-kata kasar pada anak kita.

Kita melarang anak kita tawuran atau ringan tangan, padahal kita sering menganiaya mereka anak-anak kita secara fisik, kita suka berkelahi di depan anak-anak kita, suka adu jotos di forum terhormat gedung lembaga legislatif ketika bersidang karena merasa tidak sepaham, yang di saksikan anak-anak kita langsung lewat televisi.

Kita melarang anak kita berbohong atau jujur, padahal sudah berapa kebohongan yang kita ciptakan kepada anak-anak kita.

Kita melarang anak kita mengkonsumsi narkoba, padahal kita sendiri adalah pemakai dan bandar narkoba itu sendiri.

Kita melarang anak kita bergaul bebas atau pacaran, padahal kita sendiri juga melakukan hal yang sama bergaul bebas baik dilingkungan masyarakat, maupun lingkungan kantor yang terkenal dengan nama selingkuh.

Kita melarang anak-anak kita minum-minuman keras dan berjudi, padahal kita adalah bandar judi dan pemilik pabrik menuman keras serta peminum dan penjudi.

Kita melarang anak kita merokok, padahal dirikita sudah sering membakar uang, dengan merokok di depan mata mereka, dan kita juga menjual rokok dan pemilik pabrik rokok.

Kita marah ketika anak kita tidak sholat, atau beribadah, padahal kita suka melalaikan bahkan tidak menunaikan kewajiban sholat.

Kita menghimbau agar anak-anak kita jangan mengkonsumsi tayangan yang pornografi, padahal dirikita sering menonton tayangan, membaca, mengakses situs-situs porno tersebut, bahkan kitalah yang memiliki media cetak, penulis naskah, membeli media-media pornografi tersebut.

Kita melarang anak-anak kita untuk menonton televisi terus menerus, padahal kita pengkonsumsi paling utama siaran televisi sampai tidak tidur.

Kita sering menasehati anak-anak kita untuk tidak berghibah atau memfitnah oranglain, padahal dirikitalah yang suka berghibah dan memfitnah itu.

Kita marah ketika tahu anak-anak kita sering nongkrong dan keluar malam, padahal kita juga melakukan hal yang sama, terkadang waktu shubuh baru pulang ke rumah.

Kita menasehati anak kita agar rajin sekolah, tetapi kita juga malas bekerja, bahkan sering mangkir dari kantor.

Kita mengeluhkan mengapa anak kita malas membaca, padahal kita juga sangat jarang memiliki kebiasaan membaca.

Kita sering mengajari mereka anak-anak kita untuk tidak melawan kepada orangtuanya, padahal kita dulunya juga suka melawan orangtua kita.

Kita marah ketika tahu anak kita suka mencuri, padahal kita sering mencuri uang negara, atau sering mendapatkan rejeki yang tidak halal.

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

ilmu sosial dasar

Ilmu sosial dasar adalah suatu program pelajran baru yang dikembangkan di Perguruan Tinggi. Pengembangan Ilmu Sosial Dasar ini sejalan dengan realisasi pengembangan ide dan pembaharuan sistem pendidikan yang bersifat dinamis dan inovatf. Ilmu-ilmu Sosial Dasar (ISD)

Adalah Ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan dalam pendekatan, sekaligus sebagai sarana jalan keluar untuk mencari pemecahan masalah-masalah sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Seperangkat konsep-konsep dasar dan pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial secara interdisplin atau multidisiplin dipergunakan sebagai alat bagi pendekatan dan pemecahan problema-problema yang timbul dan berkembang dalam masyarakat.

ISD memberikan dasar-dasar pengetahuan sosial kepada mahasiswa, yang diharapkan akan cepat tanggap serta mampu menghadapi dan memberi alternatif pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan pengetahuan yang didapat melalui ISD, diharapkan para mahasiswa akan mampu menyesuaikan diri berkat penghayatan akan arah perkembangan dalam masyarakat. Setelah menyesuaikan diri secara mantap, paling tidak ia mampu mengetahui ke arah mana pemecahan jalan keluar suatu permasalahan itu harus ditempuh. Masalah-masalah sosial yang berkembang sedemikian kompleks, baik yang bersifat lokal, regional, nasional maupun internasional seperti pengangguran, urbanisasi, penyelundupan dan kriminalitas, kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika.

Pertentangan ras dan pergolakan politik merupakan masalah-masalah sosial yang harus dilihat serta ditanggulangi dengan segala aspek pengetahuan yang terjalin satu sama lain.

Latar belakang ilmu sosial

Latar belakang diberikannya Ilmu Sosial Dasar (ISD) dimulai dari banyaknya kritik-kritik yang ditujukan pada sistem pendidikan di Perguruan tinggi oleh sejumlah cendikiawan terutama sarjana pendidikan, sosial dan kebudayaan. Mereka menganggap sistem pendidikan yang tengah berlangsung saat ini, berbau kolonial dan masih merupakan warisan sistem pendidikan pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan dari “ Politik Balas Budi “ ( etiche politiek ) yang dianjurkan oleh Conrad Theodore Van Deventer, bertujuan menghasilkan tenaga-tenaga trampil untuk menjadi “ tukang-tukang “ yang mengisi birokrasi mereka di bidang administrasi, pedagang, teknik dan keahlian lain dalam tujuan eksploitasi kekayaan negara.

Tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi diharapkan memiliki tiga jenis kemampuan yang meliputi personal, akademik dan profesional.

Kemapuan personal adalah kemampuan kepribadian. Dengan kemapuan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap, tingkah laku, dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia. Memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan (pancasila), serta memiliki pandangan luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

Kemampan akademik adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah, baik lisan maupun tertulis, menguasai peralatan analisa, mampu berfikir logis, kritis sistematis, dan analitis. Memiliki kemampuan konsepsional untuk mengindetifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi serta mampu menawarkan alternatif pemecahannya.

Kemampuan profesional adalah kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dengan kemampan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang profesinya, agar jumlah penduduk yang besar ini benar-benar bisa menjadi modal pembangunan , sumber daya manusia yang dimiliki benar-benar sumber daya yang handal dan menjadi subyek untuk kemajuan peradaban damn memilki kesadaran untuk membangun negara dan bangsa.

kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan

Proses kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan melalui beberapa periode jaman. Setiap periode jaman yang dilaluinya menggambarkan peradaban. Diawali oleh orang-orang Yunani Kuno di abad ke-6 SM, filsafat sebagai manifestasi ilmu pengetahuan, lahir dengan corak mitologis. Melalui mitologi itulah diterangkan segala yang ada. Setelah ada gerakan demitologisasi yang dilakukan oleh para filsuf alam dijaman pra Sokrates, filsafat setapak demi setapak mencapai puncak perkembangannya melalui pemikiran ”trio filsuf besar” yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles di abad ke-3 SM yang secara rasional mempertanyakan segala yang ada dan yang mungkin ada. Filsafat yang semula identik dengan mitologi sejak saat itu berubah menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi segala macam ilmu menurut pengertian kita sekarang ini.

Sejarah filsafat Yunani Kuno berakhir di abad ke-6 M. Perkembangan selanjutnya, di abad pertengahan, diawali oleh filsafat Patristik dan dilanjutkan oleh filsafat Skolastik yang berlangsung hingga abad ke-14 menunjukkan bagaimana filsafat menjadi satu dan manunggal dengan agama (Kristiani). Pada abad pertengahan dikenal pula filsuf Arab seperti Alkindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rosjd dan Al Gazali yang menterjemahkan karya Aristoteles dan membawanya ke Cordova untuk selanjutnya berkembang di dunia barat.

Didahului oleh gerakan Renaissance (abad ke-14 akhir) dan dilanjutkan oleh gerakan Aufklaerung (abad ke-18) filsafat barat memasuki tahap modern. Gerakan renaissance adalah gerakan yang didukung oleh satu cita-cita lahirnya manusia bebas. Sedangkan gerakan Aufklaerung adalah gerakan yang sangat mengagungkan kemampuan dan peranan akal. Gebrakan dari 2 gerakan ini memberikan implikasi mengembalikan otonomi manusia dan kebudayaannya di satu pihak dan mengarahkan kehidupan manusia menuju sekularisasi. Agama yang semula manunggal dengan filsafat, telah ditinggalkan oleh filsafat dan masing-masing otonom berdiri sendiri.

Pemisahan ilmu-ilmu pengetahuan (cabang) dari filsafat ini diawali dengan kebangkitan ilmu-ilmu pengetahuan fisik dengan tokoh-tokohnya Copernicus, Vesalius, dan Isaac Newton. Metode yang digunakan oleh ilmu alam ini, merupakan metode yang digunakan juga dalam ilmu sosial yang muncul pada abad ke-18. Perkembangan ilmu sosial dengan gaya tersebut, mencapai bentuknya secara definitif dengan tampilnya Auguste Comte. Comte mengajarkan bahwa cara berfikir manusia akan mencapai tahap positif setelah melewati tahap teologis dan metafisik.

Dari pengalaman ontologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat perkembangan ilmu akan mencerminkan tingkat peradaban manusia atau proses perkembangan ilmu memanifestasikan proses perkembangan peradaban.





referensi: Dewi's Blog

perkembangan filsafat ilmu

Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan

Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.

Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.

Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.

Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.

Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.

Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.

Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian

Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.

Daftar Pustaka

Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :P PS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.

Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.

Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)